23.1.16

Homo Mimesis dan Seorang Pembaca yang Terjebak dalam Gulungan Memori Purbanya

: Kepada Kristianto Galuwo

Sore, mendung, Pizza Hut, meja 5.
Sembari menunggu supersupreme ukuran large dengan pinggiran struffed crust keju, kedua sepatu saya mengetuk-ketuk lantai secara bergantian, mungkin dengan tempo 3/4, sementara itu, jejari saya memainkan gadget di tangan, membolak-baliknya, sesekali memutar, sambil mata melirik kiri kanan menyaksikan ritual pengunjung mall yang sore itu agak lengang, tapi hanya sesaat, sampai akhirnya pandangan saya kembali jatuh ke bawah dan jejari tadi membuka lagi lockscreen layar mini lalu refleks menekan aplikasi facebook. Di sana, tulisanmu sudah terbuka dan menunggu di baca.
Saya gelisah, Bung. Gelisah karena bingung harus bersikap bagaimana terhadap tulisanmu yang kau tulis di blog pribadi, yang kau share di laman facebook, dan tak lupa menandai akun facebook saya itu. Judulnya bernada satire: Segulung Kalimat 'Usang' Dalam Kepala, seperti mencoba mengantar saya pada ceritaku sendiri, Segulung Cerita Tua dalam Kepala (selanjutnya saya singkat: Serat Dapala).
Lalu mata baca saya kembali mengayuh jemari bak papan selencar di atas aliran kata-katamu, mencari-cari gulungan ombak yang akan menghancurkan papan selancarku atau malah akan saya gunakan untuk bermanuver di atasnya, tanpa menyelaminya. Pada paragraf satu dua tak ada apa-apa, di mana-mana hanya ada genangan air yang ketika dijilat terasa asin dan sesekali hambar. Paragraf tiga empat juga demikian. Hingga akhirnya segulung ombak purbamu itu menghampiri saya di paragraf lima dan seterusnya, ombak yang terbuat dari air garam mendidih, perlahan mengental, berubah warna, lalu menjadi lahar magma panas. Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi?
Ketika ujung jari saya menyentuhnya di layar mini, sekonyong-konyong jemari saya itu melumer dan terputus, lengan saya kemudian terlepas, menjalar ke atas membuat rambut saya rontok, telinga saya juga putus, hidung saya mengelupas, gigi saya tanggal satu persatu, kumis dan janggut saya serasa ada yang mencabuti, mata saya lenyap, dan kepala saya copot. Tulisanmu benar-benar memutilasi jiwa saya, Bung, mencincang tubuh saya tak beraturan. Beruntung saja, mantan pacar saya, yang sejak tadi melongo menatap saya, menepuk pundak saya dan berkata: “Aduh, Sponge Bob! Kenapa tubuhmu berceceran begini? Ayo, pasang dulu kepalanya! Pizza-nya sudah datang.” glek..

Malam, laptop dan seperangkat atribut pembunuh subuh.
Saya kembali membuka facebook, membaca tulisanmu (yang berisi dakwaan), menaruh jejak kaki di facebookmu sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah melihatnya dan sedang membacanya. Dan saya pun mencoba memenuhi keinginanmu yang purba itu: menulis sanggahan.
Tapi tidak. Saya tidak akan memberi sanggahan atau pun klarifikasi terhadap dakwaan yang kau layangkan. Saya bukannya tak mau, hanya tak tega saja membiarkanmu terdikte oleh pengarang. Saya masih bertahan dengan diskursus bahwa seorang pengarang (sastra) harus mati ketika ia sudah menyelesaikan tulisannya. Seperti sabda Umberto Eco, “seorang pengarang tidak seharusnya berinterpretasi atas karyanya, karena ketika itu ia lakukan maka karyanya menjadi gagal sebagai alat perangsang interpretasi pembaca.” Saya pun demikian halnya, tidak boleh berinterpretasi, agar tidak mencegahmu (dan pembaca lainnya) berinterpretasi (membunuh atau menghidupkan karya saya untuk membunuh lagi). Tetapi saya boleh menceritakan mengapa dan bagaimana saya mengarang Serat Dapala, cerita yang sudah mengganggu kepalamu selama bertahun-tahun itu.
Dan, jika pun kelak di dalam narasi ini terdapat serupa interpretasi, maka anggaplah itu sebagai tafsir seorang pembaca, pengarang yang sudah menjelma sebagai pembaca, sebab cerita yang saya tulis bertahun lalu itu mungkin akan bermakna beda ketika saya membacanya kembali hari ini (seperti afektif saya yang tiba-tiba berubah ketika membaca tulisanmu pada sore yang mendung dan malam hari yang berasap), itu pun jika ia masih memiliki makna.
Baiklah. Pertama-tama maafkanlah saya atas laku Serat Dapala yang telah semena-mena mengambil beberapa kilobyte ruang memori di kepalamu lalu diam-diam menjadi ‘virus bawah sadar’ yang mengendalikanmu hingga kau membuat tulisan interpretasi atasnya. Entah, barangkali itu sisi sukses Serat Dapala dalam rangka menjadi kawan sekaligus lawan isi kepala pembaca, termasuk kau.
Kedua, saya ingin bertanya-tanya dan berbagi, pernahkan kau membaca novel “The Name of The Rose” karya Umberto Eco (penulis Teori Semiotika asal Itali itu)? Sampai sekarang, saya pun masih belum selesai membaca versi ebook-nya. Tapi perkenankan saya untuk sedikit mengutip ulasan ST. Sunardi (salah seorang pengusung keranda Nietzsche di Indonesia) setelah berada “Tujuh Hari dalam Labirin” (Kata Pengantar edisi terjemahan) Novel tersebut. Di pengantar hari kedua-nya, Sunardi menyoal tentang kuatnya ‘intertekstualitas’ ketika membaca “The Name of The Rose”. Ia menulis begini:
 “…Novel ini terus-menerus bicara tentang teks lain. Sudah sejak kalimat pertama dalam ‘prologo’ dia (Eco) menggunakan teks lain: “Pada awalnya adalah sabda dan sabda bersama Allah dan sabda adalah Allah”. Lihatlah, Eco tidak ragu-ragu menggunakan teks mapan, ortodoks, doktrinal, dan bahkan biblis (di sini dia mengambil ayat dari injil Yohanes)… Penggunaan teks-teks lain ini terus menerus berjalan sampai akhir bukunya. Teks-teks ini di ambil dari mana saja: dari Injil, pikiran para teolog, ilmu pengetahuan dari Yunani, dan sebagainya. Ada yang bisa dikenali langsung dengan cepat, dan ada yang tercium samar-samar saja. Ada yang ditulis dengan tanda kutip (“…”) dan ada yang dipakai begitu saja. Karena pemakaian teks-teks ini begitu konstan dan massif, cara ini bisa menjadi salah satu teknik penyusunan sebuah novel.” 
Tidak bermaksud menggunakan kalimat di atas sebagai pembelaan terhadap Serat Dapala yang terdapat potongan puisi ‘Gandari’ Goenawan Mohamad sebagaimana dakwaanmu itu, saya malah akan mengejutkanmu dengan pengakuan bahwa seluruh jalinan teks dalam Serat Dapala, sedari Judul hingga akhir cerita, adalah proyek intertekstual, juga dekonstruksi, sebuah cerita yang bercerita tentang cerita-cerita dalam cerita, yang dapat kau lacak jejak-jejaknya (menginterpretasinya)  jika berkenan tergantung kondisi psikologis dan kognitifmu saat membacanya.
Dan, tanpa perlu memaparkan perbendaharaan atau referensi bacaan atau pengalaman saya, kalimat di atas saya pinjam saja untuk menjelaskan proses kreatif lahirnya Serat Dapala. Sebab, sekali lagi saya tak mau mendiktemu ketika membacanya, membuatmu berinterpretasi sesuai interpretasi pengarang, yang akan membuat Serat Dapala menjadi gagal dalam mempercepat ‘perjalanan teks-teks referensinya secara ironik’ sebagaimana fungsi intertekstualitas itu sendiri.
Tapi barangkali saya tak sehebat dan seberani Eco dalam menerapkan teknik intertekstual itu, atau barangkali saya takut jika Serat Dapala akan berpapasan dengan pembaca yang tidak cukup referensi, sehingga, di bawah Serat Dapala, saya masih harus menulis catatan kaki untuk menjelaskan beberapa istilah, arti Bahasa, potongan kalimat dari siapa dan sebagainya. Hal ini dikarenakan selain memiliki fungsi ironik, teknik intertekstual, sebagaimana risalah Eco dalam “The Limit of Interpretation” yang diriwayatkan oleh Sunardi, juga memiliki resiko: “Gagalnya memperjelas tanda kutip sehingga apa yang dikutip diterima oleh pembaca yang naif sebagai temuan orisinil dan bukannya referensi ironik.”
Di sanalah barangkali letak kesalahan saya di mata-bacamu, yang sekaligus mengantarku pada letak kesalahanmu di mataku. Kau barangkali telah kecewa karena saya tidak memberikan catatan kaki atas potongan puisi Gandari yang saya kutip. Dan benar, gegara mengidolakan GM saya semena-mena menganggap karya-karya GM sudah menjadi doxa, common sense, sudah menjadi pengetahuan umum (seperti nama-nama tokoh dari Epos Mahabharata, substansi dialog filosofis, dll) yang asal muasalnya sudah jelas (tak butuh catatan kaki) sehingga yang membacanya sudah tahu jika jejak GM belum terhapus di sana dan berharap bisa diinterpretasi secara beragam tergantung perjalanan dan perjalinan teks yang satu dengan yang lainnya.
Tapi saya juga kecewa, sebab kau menganggap, selain potongan puisi itu, ribuan kata dalam Serat Dapala adalah ‘orisinil’ buah pikir saya. Sebab jika kau membaca Serat Dapala dengan metode baca seperti saat kau menemukan sepotong puisi Gandari, kau pasti telah berpapasan dengan kalimat ini: “Aku tak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan mereka sendiri yang mengubahnya”. Apa kau menyadari adanya kalimat ini, mengenal asal muasalnya, pernah membacanya, pernah mendengarnya? Nah, kenapa kalimat ini tidak kau gugat juga dalam dakwaanmu yang rada malu-malu itu?
Ketiga. Tentang orisinalitas. Pernahkan kau mengalami momen ketika menulis, berorasi, bahkan saat ngobrol santai yang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan sistem logika tertentu, mengutip kata-kata pemikir, tokoh ternama, pepatah atau apapun sebentuknya di mana kata-kata itu kau lupa siapa pemiliknya atau pernah mendengar atau membacanya entah di mana tapi kemudian bagi pembaca atau pendengarmu kata-kata itu menjadi ‘orisinil’ kata-katamu sendiri dalam jalinan kalimat yang kau buat? Semacam itulah sekiranya terdapat ‘gema intertekstual’ dalam benteng yang kita sebut ‘orisinalitas’. Sebab ‘orisinalitas kekinian’ bisa saja berarti kebaruan akan sesuatu yang pernah kita dengar atau baca lalu kita gunakan (mengimitasi, memodifikasi, mengafirmasi, mereduksi) tapi kita sudah lupa (atau pura-pura lupa) kapan dan di mana pertama kali memperolehnya.
Tapi jika wacana dekonstruktif dan teknik produksi popular ini masih terlalu kontemporer untuk merespon metode bacamu yang purba, maka barangkali Plato dan Aristoteles dapat menolongmu. Barangkali kau pernah mendengar istilah Homo Mimesis. Ya, “manusia adalah homo mimesis (alias makhluk peniru),” kata Plato. Makanya dalam elaborasi refleksi seni tinggi, kurang lebih Plato mengatakan karya yang baik haruslah mampu meniru, menjiplak realitas semirip-miripnya, seperti ketika melukis wajah seseorang, semakin mirip semakin estetis. Fenomena ini juga terjadi ketika seseorang memiliki idola, maka ia akan mencoba meniru idolanya tersebut semirip-miripnya.
Bahkan lebih hakikat lagi, jika menjurus pada persoalan imitasi teks, kita seharusnya akan bertanya-tanya, “dari mana asal kata yang saya gunakan saat ini?”, “bukankah saat bayi saya tak bisa melafalkan kata-kata?”, “bukankah kemampuan saya berkata-kata, berbahasa, merupakan keberhasilan saya meniru kata-kata, mengimitasi bahasa orang tua atau lingkungan saya?”, atau “bukankah kata-kata yang saya gunakan saat ini sudah terdapat dalam Kamus Besar Bahasa?”, lalu, “apakah saya telah meniru, menjiplak sebuah kamus?” Demikianlah persoalan mimesis telah menjadi karakter kemanusiaan kita, menurut Plato.
Lebih lanjut, Aristoteles juga menyinggung persoalan mimesis ini ketika berbicara tentang puisi. Ia meyakini bahwa penciptaan Bahasa muncul dari kelindan antara kecenderungan untuk membuat gambaran baru (muthos) dan meniru kenyataan yang ada (mimesis). Di sinilah elaborasi pertama tentang metafor sebagai hasil kreatifitas yang barangkali juga menjadi cikal bakal ‘gema intertekstual’. Sehingga, terkadang ketika kita membaca sebuah karya, kita merasa berada dalam ketegangan untuk menafsirnya bahwa karya itu “adalah seperti karya anu” sekaligus “adalah bukan karya anu”.
Ah, sudah terlalu pagi. Dan saya sudah berbicara melebar kemana-mana. Saya ingin mengakhirinya saja. Tapi sebelum itu, saya ingin berkesimpulan mengenai tulisanmu, dan sebelum berkesimpulan, saya akan memberikan satu kunci untuk memahami kerumitan penjelasan di atas, yakni proyek intertekstual dalam Serat Dapala sebenarnya sudah kau lakukan juga dalam tulisan dakwaanmu, entah sengaja atau tak sengaja. Judul yang kau gunakan (Segulung Kalimat ‘Usang’ dalam Kepala) terdengar mirip dengan Judul cerita saya (Segulung Cerita Tua dalam Kepala). Lalu, siapakah yang berhak mengklaim sebagai pemilik potongan kalimat “Segulung … dalam Kepala” itu? Apakah ini imitasi juga? Ataukah ia punya maksud tertentu? Jika punya maksud, maka pertanyaan dalam dakwaanmu tentang mengapa saya memasukkan potongan puisi Gandari dalam Serat Dapala bisa terjawab oleh dirimu sendiri, melalui cara bacamu sendiri.
Kesimpulan. Saya berasumsi, dalam melakukan operasi pembacaan, kau masih terjebak pada tradisi purba kepenulisan prasasti, di mana puisi, hikayat, fenomena, diukir di atas batu dan mampu bertahan ribuan tahun atas nama kebudayaan tertentu, milik tokoh tertentu. Bahkan, untuk mengotopsi Serat Dapala saja, kau masih menggunakan intrumen purba seperti kapak yang terbuat dari batu dan logam tumpul, yang untuk digunakan memotong pizza saja, saya masih pikir-pikir dulu. Hmm..
Sebagai saran. Adalah hak asasi pembaca menggunakan model dan metode baca apa saja yang ia senangi. Tapi jika kau kelak ingin menggunakan tradisi ilmiah (juga tradisi jurnalistik) sebagai standar membaca karya maka pertama-tama janganlah menggunakan standar ganda, seperti saat kau mempertanyakan ‘potongan puisi’ dalam Serat Dapala di satu sisi, tapi menggunakan  ‘sepotong judul’ saya sebagai judul tulisanmu di sisi yang lain, sebab itu namanya ‘bunuh diri’. Kecuali jika kau menggunakan metode baca ‘yang-lain’.
Ya sudahlah. Semoga saja tulisan yang belum tulisan ini bisa merangsangmu untuk menulis lagi. Dan tak lupa saya juga berterimakasih sebab lewat tulisanmu itu saya jadi terangsang untuk menulis lagi. Barangkali memang benar, tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu merangsang pembacanya untuk menulis, menjadi penulis. Sekiranya pujian, sikap legowo, dan segenap keterbukaan saya menerimamu sebagai sahabat sudah tertera di situ. Dan, jika berkenan membaca karya saya lagi di kemudian hari, semoga hasil bacaanmu tidak berakhir sebagai gossip, melainkan menjadi ulasan yang mengupas secara tajam hingga unsur ter-taboo sekalipun sebagai wacana yang layak untuk diperbincangkan. Salam kompor.

—ha—
Bikini Bottom, 21012016

1 komentar:

  1. http://sigidad.blogspot.co.id/2016/01/haz-itu-tulisan-atau-tisu.html?m=1

    BalasHapus